Minggu, 02 Maret 2014

Klompen, Sepatu Khas Belanda

KLOMPEN
SEPATU KHAS BELANDA


Klompen


 Masih banyak beberapa hal menarik yang bisa ditemui di sana seperti halnya klompen, sepatu kayu yang dipakai penduduk Belanda pada zaman dulu.

Windmolen atau dalam bahasa Indonesia berarti kincir angin memang sudah lama menjadi ciri khas Belanda, sehingga negara bertanah rendah itu pun dijuluki 'Negeri Kincir Angin'. Dahulu, kincir angin biasa digunakan untuk menaikkan air guna mengaliri sawah-sawah, namun lama-kelamaan fungsinya bergeser. Belanda modern kini juga menggunakan kincir angin sebagai tenaga listrik.

Tapi, Belanda tak melulu soal kincir angin. Kalaupun ada ikon lainnya dari negara kelahiran maestro sepakbola Johan Cruyff ini, maka itu adalah klompen, sepatu kayu yang biasa digunakan penduduk Belanda pada zaman dahulu kala. Klompen memang sudah jarang digunakan sekarang dan fungsinya pun kini sudah berubah menjadi souvenir para turis.


Proses pembuatan Klompen menggunakan sepotong kayu poplar yang kemudian dipahat-pahat dengan menggunakan pisau pemotong kayu untuk membentuk bagian luarnya. Jika sudah selesai, barulah dibentuk lubang dengan cara mencungkil bagian tengahnya untuk membuat bagian dalam sepatu.

"Dulu membuatnya membutuhkan waktu lima hari, sekarang dengan mesin bisa diselesaikan dalam waktu sejam. Jadi, saya berada di sini hanya sekadar pertunjukan saja," ujar Steven, pria yang menunjukkan proses pembuatan klompen secara tradisional kepada kami.

Steven lantas menjelaskan bahwa klompen sebenarnya belum punah-punah amat. "Sepatu ini bisa digunakan mereka yang bekerja di kebun. Sepatu ini ringan sehingga mudah dilepas ketika ingin masuk ke dalam rumah. Sepatu ini dingin ketika musim panas dan hangat ketika musim dingin," jabarnya.

Selesai melihat proses pembuatan klompen, kami pun mengunjungi sebuah desa nelayan yang terletak di Volendam. Jangan bayangkan sebuah desa kumuh ketika mendengar namanya. Desa nelayan di sini lebih mirip sebuah kota kecil yang tengah mengadakan karnaval.

Jalanannya kecil dan kiri-kanannya terdapat banyak toko yang menjual souvenir, kafe-kafe dengan banyak turis duduk-duduk di kursi-kursinya, serta berbagai restoran atau toko kue. Sejumlah warga lokal lalu-lalang dengan menggunakan sepeda tua. Jumlah turis yang datang pun tidak sedikit karena mereka datang berbus-bus dan berasal dari macam-macam negara termasuk kami, dari Indonesia.

Lalu, mengapa desa ini disebut nelayan? Dahulu, sebelum banjir besar dari Laut Utara pada tahun 1953, mata pencaharian penduduk di sini adalah nelayan. Namun, setelah kejadian banjir besar tersebut, pemerintah pun memutuskan untuk membendung Laut Utara sehingga jumlah ikan yang dijaring pun berkurang.

Banjir itu sendiri juga sampai memberikan dampak pada beberapa daerah di Belgia. Maklum, Belanda seperti diketahui adalah negara yang berada di bawah permukaan laut, di mana titik tertingginya saja hanya 321 meter di atas permukaan laut.

Kendati berada di pinggir laut, cuaca di sini tidaklah terik apalagi mengingat daerahnya yang berdekatan dengan Eropa Utara. Saat Detikcom berkunjung pekan ini, suhu tengah mencapai angka 11-14 derajat celcius. Matahari memang bersinar, tapi angin yang berhembus cukup untuk membuat beberapa orang memiliki alasan untuk memakai jaket.

Video Cara membuat Klompen


0 komentar:

Posting Komentar

    Blogger news

    Blogroll

    About